Hujan di Bumi Hijrah
"Palupi, seragamnya mau yang panjang atau pendek?" seorang wanita paruh baya menatap gadis di seberangnya.
"Panjang apa ya, Tante?" Gadis itu menyahut
sembari mengerutkan kening. Jika memilih panjang berarti seragam sekolahnya
selama tiga tahun harus panjang berkerudung dan konsekuensinya di luar rumah
juga harus mengenakan kerudung. Namun Palupi ingin berubah. Gemuruh di dada
gadis itu semakin bising. Oh Palupi ia merasa terlalu banyak menimbun masalah
di rumah bahkan dosa pada orang tua. Ia ingin berubah tapi sebenarnya masih
belum siap, takut dicemooh karena tingkah masih berantakan. Lalu bagaimana
dengan almarhum bapaknya yang baru beberapa bulan lalu meninggal? Doa anak
shalih adalah salah satu yang bisa memberinya kebaikan.
Shalihkah diri ini? Batin Palupi berteriak. Belum ada secuil
pun kebaikannya yang bisa membayar kebaikan bapak. Terlalu banyak pengorbanan
beliau. Beliau meninggal tepat beberapa hari setelah mendengar kabar bahwa
Palupi diterima di salah satu sekolah swasta. Mereka bukan dari kalangan
berada. Untuk membayar biaya uang gedung butuh biaya yang cukup banyak. Bapak
rela jika uang untuknya operasi kanker dipakai saja membayar biaya sekolah anak
sulungnya. Adakah yang bisa membuat decak kagum Palupi terhenti? Di saat Palupi
seolah tidak peduli dengan bapak yang sedang sakit bahkan lebih mementingkan
ujian sekolah bapak justru sebaliknya.
Pun demikian dengan seorang mamah yang belum lama sembuh
dari pendarahan disusul sakit suaminya ia harus mengurus berbagai hal dan pada
akhirnya sang suami pulang ke sisiNya. Mamah harus mengemban amanah 4 orang
anak yang masih belia baru berusia 1 tahun. “Luka apalagi yang hendak saya
goreskan padanya?” batin Palupi semakin membuncah sesak.
Ditambah lagi dengan rasa malu. Malu karena kedua adik yang
sudah bersekolah mereka masuk pondok semua sejak TK dan saat itu adik
pertamanya kelas 1 SD, adik keduanya kelas TK B. MasyaAllah. Sedangkan Palupi
tidak pernah sekalipun sekolah formal berbasis agama islam. Dan bapak serta
mamah pun masih dalam proses menguliti bagian demi bagian tentang islam. Bahkan
mamah waktu itu masih berproses dengan kerudung pendek.
"Seragam panjang, Tante," jawab Palupi mantap
begitulah kurang lebih percapakan antara mereka. Tante Adilah adalah adik
perempuan mamah Palupi yang membantu mengurus pendaftaran jenjang sekolah baru
Palupi, bolak-balik ke luar kota, tante juga yang mencarikan kosan sampai
pernah berangkat di antar oleh tante padahal niatnya mau naik bis tapi kata
beliau nanggung, akhirnya naik motor dan wuuush masyaAllah hanya 3 jam.
Ada hal yang melekat dalam ingatan Palupi ketika diantar
oleh Tante Adilah yang kemudian menjadi inspirasinya untuk berhijrah dalam hal
busana. Tante sudah terbiasa mengenakan pakaian syar'i. Jilbab lebar dan
pakaian yang sederhana, tidak ketat pun tidak menerawang. Sewaktu naik motor,
tidak nampak sedikitpun kerepotan karena pakai rok dan bisa dibilang ini bukan
perjalanan jarak dekat, lumayan jauh dengan motor apalagi perempuan. “Ih tante
kan mampu beli baju yang lebih ngetrend dari ini, kok malah memilih berpakaian
ketinggalan zaman gini ya,” celoteh Palupi dalam dada. Apalagi melihat kaos
kaki tantenya yang tinggi dan langsung menumpuk dengan celana bagian bawah,
sedikit tampak karena kan naik motor bebek. Ah ya gadis itu terbiasa dengan
lingkungan yang jauh dari islam. Palupi terlalu sering melihat teman-teman
perempuan dan laki-laki yang berboncengan menggunakan motor dengan sang
perempuan mengenakan baju panjang 3/4, namun celana mini, rambut direbonding. Dan
itu adalah hal yang “wah” bagi ia dan teman-temannya, merupakan suatu
kebanggaan jika memiliki teman laki-laki yang bisa antar jemput ketika perlu
sesuatu atau sekadar main di rumah teman lainnya.
Setapak awal #journeytosyari
Hari-hari sebagai siswa baru pun berlalu. Setelah pembagian
seragam akhirnya Palupi memakai kerudung. Dulu ia hanya punya beberapa kerudung
instan pendek. Kemudian Palupi membeli beberapa helai kerudung murah, sering
disebut sebagai kerudung paris. Saat itu belum booming yang namanya bergo antem,
phasmina instan, dll. Style celana pun kebanyakan celana pensil, sama sih
sekarang juga ya... Dan saat peralihan itu Palupi belum memiliki banyak
baju/celana panjang. Alhamdulillah ia mendapat hibah dari ex. pakaian sepupunya
- beberapa celana jeans laki-laki yang kemudian dibawa ke penjahit untuk
dijadikan celana pensil semuanya termasuk celana jeans milik Palupi sendiri
yang model cutbray bertransformasi menjadi celana pensil.
Selama masa orientasi siswa, Palupi sempat tertarik dengan
organisasi rohani islam dan ekstrakurikuler pecinta alam. Alasan kuat bergabung
dengan rohis kembali lagi di awal, ia ingin berubah. Perubahan yang tidak
muluk-muluk. Setidaknya naik satu tangga saja itu sudah cukup. Apalagi perubahannya kini dimulai dari titik 0, pada lantai dasar
atau bahkan underground. Palupi merasa memerlukan lingkungan yang mendukung,
sahabat yang bisa saling berbagi ilmu, saling mengingatkan. Dan alasannya
bergabung dengan pecinta alam karena ia memang tertarik dengan kegiatan alam.
Antusiasme Palupi pun berbuah manis. Sesuai harapan, ia bisa
bergabung di dalam IRMA (ikatan remaja masjid), wadah bagi siswa kelas 1 yang
sementara waktu menggantikan tugas anggota rohis yang terdiri dari siswa kelas
2 saat mereka harus melaksanakan praktik kerja industri selama 3 bulan. Di sisi
lain Palupi juga berhasil bergabung dengan eskul pecinta alam.
Bergabung di IRMA setidaknya membuat Palupi minder tapi
tidak mundur. Minder karena penampilan diri yang jauh dari lainnya. Memang ada
di anggota IRMA yang belum mengenakan kerudung, tapi mereka yang membuat
cemburu adalah mereka yang rapi, santun, tertutup dalam balutan kerudungnya.
Sedangkan dirinya masih berada dalam tahap penyesuaian. Keluar kos dengan
kerudung pun itu sudah peningkatan kebaikan yang luar biasa.
Amanah dan Topeng Diri
Naik kelas 2. Di sinilah saatnya kewajiban diemban. Kelas 2
umumnya menjadi pengurus inti dari setiap organisasi. Tidak disangka Palupi
menjadi kandidat ketua akhwat rohis. Makdeg!
“Apa pantas anak seperti saya. Woy nyadar woy!” Palupi mematut diri di
depan cermin. Ia sadar diri, beberapa teman yang lain ada yang lebih menonjol
dari segi pengetahuan islam, penampilan syar'inya, kecakapan komunikasi, dll.
Di samping itu Palupi juga tergabung dalam aktivitas pecinta alam. Tentu sudah
banyak yang tahu bahwa kepribadan kelompok pecinta alam dan rohis yang kental
itu berbeda – ada yang bilang sangat bertolak belakang. Kalau pengurus rohis
biasa tentu tidak terlalu menjadi pusat perhatian. Nah, kalau benar-benar
menjadi ketua rohis, apa kata anak rohis? Apa kata para senior? Apa kata yang
lain? Palupi belum siap menjadi teladan. Sebab definisi perubahan baik bagi
Palupi memang tidak muluk. Ia belum banyak mengenal quran dan sunnah waktu itu.
Misalnya nurut jika disuruh orang tua, berpakaian sopan rasanya sudah cukup.
Dan tentunya ibadah wajib sholat lima waktu yang full tanpa mulur itu adalah
perubahan yang cukup melampaui target baginya. Dulu bapak sampai pernah
menyabetkan sapu rotan ke tubuh anaknya nan bandel itu. Hingga setelah bapak
meninggal, mimpi yang Palupi alami adalah tentang shalat, dikejar-kejar bapak
tanpa henti kecuali kalau dirinya sudah selesai shalat.
‘Ala kulli hal. Palupi terpilih menjadi ketua rohis. Dalam
perjalanannya ia juga melibatkan diri ke organisasi di luar sekolah seperti kegiatan
literasi offline, selain itu juga SAR setempat yang merekrut kebanyakan dari
beberapa pelajar dan mahasiswa.
Teori drama turki memang benar. Selalu dan selalu ada
topeng. Manusia memiliki lebih dari satu topeng. Termasuk Palupi yang entah
berapa banyak dan ia merasa terlalu kontras perbedaannya. Misalnya, Palupi
biasa saja bercanda hingga terbahak di depan teman seangkatan di pecinta alam, namun di
depan anak rohis menguap saja begitu terjaga. Palupi biasa saja berboncengan
dengan anak laki-laki di SAR bahkan pernah perjalanan jauh bertiga pakai motor-
1 laki-laki, 2 wanita (maklum badannya sososo selim macam anak kecil dan
keadaannya kekurangan kendaraan, mohon tidak ditiru), namun di depan anak rohis
rapat saja dipisah antara ikhwan-akhwat. Ia tidak ingin bermaksud
menggeneralisir bahwa kelompok A adalah baik dan kelompok B adalah buruk. Ini
hanya sebagai contoh topeng-topeng yang pernah dikenakan dirinya. Tidak menutup
kemungkinan setiap orang bisa melekatkan topeng yang baik di mana saja.
"O, jadi kamu anak pecinta alam yang jadi ketua
rohis."
Palupi bukan seorang siswa yang populer. Tapi entahlah saat
bertemu salah seorang kakak kelas, ada saja yang mengatakan demikian. Sebagai
seorang melankolis, rasa curiga pun muncul, apa maksud pernyataan tersebut? “Tidak,
ini tidak mungkin sebuah bentuk pujian dan saya tidak bisa melambung terlalu PD
merasa terkenal dengan predikat itu, saya justru khawatir bahwa itu adalah
sebuah sindiran.” Terus saja batin Palupi mencerocos penuh selidik. Namanya
juga melankolis, sedikit-sedikit curiga. Ah ya memang benar penting sekali
mengenali diri sendiri.
Hujan Deras Sekali
Palupi seperti tersentil oleh-Nya. Ia merasa ini caraNya mendidik dirinya. Ditambah lagi dengan intensitas di kegiatan keislaman yang semakin padat. Dari rohis mengantarkannya mengenal beberapa teman pun organisasi keislaman lain. Setidaknya pernah sekali ada kegiatan antar rohis dan study banding dengan rohis di sekolah lain sehingga membuat langkahnya semakin luas. Palupi juga seringkali mencari kegiatan keislaman dari internet. Berawal dari lomba cerpen islami kemudian mengenal panitia atau peserta lain sehingga bisa menimba inspirasi.
Perlahan Palupi mulai mengurangi bersentuhan langsung dengan
lawan jenis termasuk salaman dengan teman seangkatan maupun senior-senior pria.
Selain itu juga mengurangi celana-celana ketat. Dan waktu itu ia hanya punya sebuah
celana bahan yang formal itu pun dibeli karena butuh untuk kegiatan rohis dulu
yang melarang pemakaian celana jeans, sisanya celana tidur dan training. Rok
pun hanya beberapa. Seringkali ia mengenakan baju tabrak warna. Rok merah, kaos
panjang ungu, kerudung putih. Sering juga kaos pendek dan dilapisi jaket.
Seiring berjalananya waktu. Entah berapa kali Palupi
dipertemukan dengan ayat tentang perintah menutup aurat dan seringkali kajian
kemuslimahan membahas tentang pakaian syar’i yang mana termasuk juga membahas
larangan bertasyabuh – menyerupai kaum laki-laki. Pakaian syar’i saat itu belum
jadi trend di masyarakat. Tidak seperti sekarang ini di mana produsen pakaian
syar’i benar-benar menjamur dan mudah sekali ditemui. Model-modelnya pun
bervariasi, bahkan persaingan di antaranya membuat produsen giat berkreasi
namun tidak lupa unsur syar’i seperti halnya ava.lable.
Palupi pun dipertemukan oleh-Nya dengan orang-orang seperti
Kak Khoti di kegiatan literasi, Kak Ifa dan saudarinya, Mba Enis, Mba Laila dan
lainnya. Mereka mengenakan pakaian yang rapi, syar’i membuat nyaman dipandang,
serasa ada yang nyess.
Saat tekad itu bulat, masyaAllah ternyata di sudut bumi lain
ada tekad yang bergerak seirama. Saat itu Palupi sudah kelas 3. Setelah
beberapa kali diketuk tentang busana, selain itu juga menemukan artikel-artikel
senada, akhirnya ia memantapkan diri untuk kembali lagi menapak tangga hijrah
berikutnya. Bismillah. Menapaki tanah yang baru. Awalnya terasa hangat,
barangkali terik baru saja mendarat. Dan lama-kelamaan terasa panasnya.
Palupi memutuskan untuk belajar mengenakan pakaian syar’i
seperti gamis meski saat itu baru punya satu itu pun tipis jadi mesti direlakan
melipir ke kardus pakaian tersisih. Ya, ketika tekad itu datang ia membereskan
seisi lemari, memilah dan memilih. Sehingga tersisa beberapa rok dan atasan
yang masih ‘layak’ membersamai hijrahnya. Dari 4 rak baju di lemari menyisakan
sedikit saja itu pun karena ada seragam-seragam sekolah yang menumpuk.
Tentang seragam sekolah. Ada seragam olah raga dan seragam
jurusan yang mengenakan bawahan berupa celana panjang. Jika seragam jurusan,
masih bisa dialihkan dengan seragam lain karena jadwal pelajaran jurusan seringkali
bercampur dengan pelajaran umum. Sedangkan seragam olah raga inilah yang
menjadi sebab Bu Amanah - mamah Palupi sampai datang jauh-jauh untuk memenuhi
panggilan dari sekolah. Selain Bu Amanah, ada juga orang tua dari Nida dan Kayla
yang memenuhi undangan sama sepertinya.
Awalnya sekolah sudah menegur dan memberikan kesempatan
untuk mereka – Palupi, Nida dan Kayla - membuat bawahan seragam berbentuk
seperti kulot. Namun bawahan yang dibuat tidak sesuai dengan apa yang telah
diperintahkan. Sisi sebelah roknya ada belahan sehingga melangkah lebih lebar
dan leluasa, tapi sebelah lainnya tidak dibelah sehingga menimbulkan beberapa
perdebatan. Singkat cerita mereka seringkali berurusan di kantor BK, hingga
didatangkan salah seorang ustadz pun sampai pernah diajak ke rumah ustadznya.
Palupi dan dua teman lain yang tidak mengenakan seragam olah
raga (lebih tepatnya tidak melepas rok, karena sebenarnya celana seragam
terpakai namun dilapisi rok) setiap pemanasan, lari dua kali lipat dari yang
lain dan telah menandatangai kesediaan tidak lulus dari sekolah plus materai.
Orang tua mereka merasa keberatan dengan hal terakhir. Apalagi Bu Amanah,
beliau sampai bilang ke keluarga besar. Heboh? Pasti. Tidak satu dua pesan
masuk ke handphone qwerty Palupi. Bahkan Bu Amanah sampai datang lagi ke
sekolah bersama Pak Arno salah seorang sahabat almarhum suaminya. Namun pihak
sekolah tidak bersedia mencabut pernyataan yang sudah diberikan menimang hal
itu memang menyalahi aturan sekolah yang mengharuskan siswa berpakaian seragam
olahraga sesuai jadwalnya.
Akhirnya Bu Amanah dan Pak Arno pergi ke kos Palupi. Kata-kata
pamungkas dari Pak Aro yang membuat Bu Amanah akhirnya luluh adalah, “Kalau
bapaknya Palupi masih hidup, apa yang akan beliau lakukan?”
Mendengar kata-kata dari Pak Arno, Palupi pun turut larut.
Pak Cahya – almarhum bapak Palupi - seringkali
melakukan tindakan-tidakan di luar prediksi bahkan ada yang menyebut beliau
‘gila’. Meski pun di sekitarnya tidak ada yang mendukung, Pak Cahya tidak
akan goyah jika beliau sudah menggenggam apa yang dianggap benar. Dan
pilihannya pun bukan asal pilih, beliau tentu mencari kebenaran tersebut
sebelum mengakar dalam dada. Entahlah bagaimana jika ia saat itu mendapati
jalan yang telah dipilih anaknya.
Palupi merenung. Ucapan Pak Arno menggugah kenangannya
bersama bapak. Ia membayangkan bapak ada di sampingnya. “Ada di antara mereka yang bilang begini pak. Palupi itu pintar, tapi
keblinger. Kok kita sama ya Pak. Hehehe.”
Ada pula yang mengatakan pada Palupi, “Sudahlah pakai
rok-rokannya nanti saja kalau sudah lulus. Kamu kenal si A? Dulu dia olah raga
pakai celana, lho. Dan setelah lulus sekolah subhanallah solehah sekali pakai
jilbab.”
Dan sederet penyataan maupun pertanyaan lain banyak yang
memburu hari-hari Palupi. Entah itu pertanyaan tentang jilbabnya pun pertanyaan
lain yang tidak ada sangkut pautnya yang mencoba menelisik penuh selidik.
Pahit? Iya, barangkali itu adalah obat yang membuat diri semakin kuat.
Kenapa di antara banyaknya orang yang mengumbar aurat mereka
dibiarkan saja tapi saat ada yang mencoba memperbaiki diri justru diperlakukan
seperti ini? Kalimat-kalimat pamungkas yang membuatnya tenang biasanya cuitan
Ustadz Felix Siauw dan Kak Benefiko di twitter. Beliau saat itu sering bercuit tentang hijab dan
tentang pacaran.
![]() |
Checklist Hijab Syari oleh Kak Benefiko - sumber: pinterest |
Di hari yang lain Palupi sendirian dipanggil ke ruang BK.
Ada Ustadz Hasan yang sebelumnya pernah didatangkan untuk diskusi dengan Palupi
dan dua temannya, kemudian guru-guru yang lain ke luar menyisakan Palupi dan
Ustadz Hasan di ruangan. Mereka berdiskusi kembali tentang berbagai hal. Ustadz
Hasan pun menjelaskan pada intinya bahwa posisi beliau berusaha tidak memihak,
beliau senang melihat siswi-siswi memiliki kemauan untuk menutup aurat. Namun
beliau memiliki kekhawatiran, apakah ada ‘hal lain’ yang mendorong keinginan
Palupi. Topik diskusi pun merambah tentang pergerakan-pergerakan organisasi
yang mengatasnamakan islam, ada yang lurus dan ada pula yang bengkok. Ustadz
Hasan menasihati untuk belajar dengan guru. Ya, itulah keinginan Palupi dari
dulu. Pada akhirnya Ustadz Hasan tidak pernah sekali pun bilang, “stop!” Mereka
pun mengakhiri pertemuan itu, dan seolah ada sekeping damai yang menggenapi
puzzle dalam jiwa gadis yang kini semakin menikmati terik yang menyengat di
bumi hijrahnya.
Kegiatan keislaman di lingkungan sekolah Palupi saat itu
terasa gersang. Sebuah selebaran terpasang di masjid tentang ciri-ciri
perekrutan terorisme. Setelah dzuhur yang biasanya ada kajian pun jarang. Palupi
teringat sesuatu, “Barangkali ini yang
Ustadz Hasan maksud.”
Sebuah lagu dari Bunda Asma Nadia menyentak Palupi,“Aku anak rohis, selalu optimis bukannya sok narsis kami memang manis...Kami aktivis benci anarkis, walau kantongku tipis kubukan teroris.”
Tulisan ini rasanya tidak cukup menyampaikan apa yang dulu
pernah terjadi pada Palupi (nama sengaja disamarkan dan beberapa tulisan barangkali tidak 100% sama namun berusaha tidak mengurangi inti dari kisahnya). Tentunya masih banyak kisah Palupi-Palupi lainnya
yang belum lama ini terdengar di berbagai sudut bumi hijrah. Kisah ini sebagai catatan
bahwa setiap kita memiliki ujiannya masing-masing. Setiap kita memiliki
jalannya masing-masing. Tidak luput, setiap kita diperciki hujan yang turun
membawa keberkahan. Derasnya pun berbeda-beda. Palupi, seorang gadis yang masih
meraba menuju tangga berikutnya juga bukan penjuru yang segalanya pantas
ditiru. Ia merasa dirinya masih harus belajar, belajar dan belajar.
“Ruh-ruh itu seperti tentara yang berhimpun yang saling berhadapan. Apabila mereka saling mengenal (sifatnya, kecenderungannya dan sama-sama sifatnya) maka akan saling bersatu, dan apabila saling berbeda maka akan tercerai-berai.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihat. Palupi
lulus dari sekolahnya dan bertemu dengan komunitas pecinta alam muslim. Yang
mana membuatnya semakin dan semakin mantap bahwa jilbab tidak menghalangi ke
mana pun kakinya melangkah. Pun ia kembali mendapatkan sahabat-sahabat sefrekuensi yang saling menguatkan bukan saling menjatuhkan yang lain,
meninggikan diri sendiri. Saling rangkul bukan saling sikut. Bergenggaman tangan, melangkah bersama.
Saling menyediakan pundak. Saling menyediakan ruang.
Sebab meniti tiap lekuk bumi hijrah bukan hal yang mudah. Nasihat Ustadz Salim A. Fillah ada 4 bekal yang harus dimiliki dalam berhijrah.
![]() |
Sebab meniti tiap lekuk bumi hijrah bukan hal yang mudah. Nasihat Ustadz Salim A. Fillah ada 4 bekal yang harus dimiliki dalam berhijrah.
Baca cerita hijrah orang sering bikin tertohok, huhu. Orang bertekad kuat yang luar biasa. Apalagi kalau hijrahnya sejak mudah banget.
BalasHapusAkan ada ujiannya masing-masih yah Teh (:
HapusAkhirnya lulus juga ya sekolah nya... Alhamdulillah
BalasHapusSetiap naik gunung, sering ketemu pendaki muslimah dan mereka tetap menutup aurat. Mereka bilang, Islam itu memudahkan, bukan menyulitkan
Setuju, Teh Okti..
HapusSuka aku baca kisah kisah kayak gini, hijrah nggak kenal waktu dan usia ya. Allah SWT menyediakan semuanya, kita tinggal pilih. Mau bagaimana ujung kisah perjalanan hidup kita nanti
BalasHapusIya, Mba... Dan memilihnya itu yang tidak mudah. Harus selalu minta petujuk sama Yang Maha Tahu #ntms banget nih buat diri yang suka lupa
HapusIni kisah nyata perjalanan hijrah Mbak atau cerpen ya...? Hehe... berhijrah memang tak mudah yah, selalu ada tantangannya
BalasHapusTrue story yang disamarkan namanya, Mba :)
HapusInsyaAllah semangat berhijrah wanita muslimah tidak kendur, istiqomah dan selalu dibawah perlindungan Allah Swt aamiin
BalasHapusMasya Allah terbawa hanyut dg ceritanya :")
BalasHapusSelalu suka baca cerita hijrah teman-teman. Semoga Mba (dan saya juga) selalu istiqomah dalam berpakaian muslimah yaa, amiiin
BalasHapusBagus bangat cerita ini, perjalanan hijrah Palupi luar biasa, semoga banyak anak2 perempuan yang mengikuti hujrah ini. Aamiin...
BalasHapusKisah yang menginspirasi, memang benar setiap orang yang melangkah ke jalan hijrah akan menemukan ujiannya masing-masing
BalasHapusTrue storykah ini? Sangat menginspirasi untuk tetap teguh pada apa yang telah menjadi keyakinan apapun yang akan terjadi ya..salut..
BalasHapusKalau sudah dapat hidayah hrs langsung ditangkap terus selalu dijaga agar tidak lepas. Senangnya membaca proses hijrah seseorang :)
BalasHapusMengobati rasa kangen baca cerpen yg dah lama banget gak baca. Pas lg nya kisah nyata.. Ah suka, jadi menginpirasi
BalasHapusSaya pake jilbab dr kelas 1 SMA. Tahun 1999 waktu itu. Selebrasi hijrah baru kerasa 5 tahun belakangan ini. Mudah2an hijrah gak dlm bentuk penampilan aja. Sebab pakaian jilbab saya masi sama dgn dulu namun perjalanan spiritual dalam hati nampak2nya cuma saya & Allah yg tau. Heuheu.
BalasHapusNice story, Teh.